Wednesday 5 February 2014

Shucks!

Solo, 4 Februari 2014.

Tutup tahun.
Layanan aplikasi pada layar telepon genggam ku memamerkan jajaran "Best App of 2013" di halaman beranda nya. Auto fokus pada lensa mata ku sedang menyala, ku rasa. Burung hijau kecil dengan paruh dan kaki kuning keemasan, menyita perhatian ku. Duolingo. Tingkat kepekaan layar meningkat sedikit tajam, ibu jari ku seperti belum menyentuh ikon, laman berganti dengan cepat. Duolingo : Learn Languages Free. Tagline usungan nya membuat ku segera menekan tombol install. Terutama kata tearakhirnya, free.

Sesegera setelah berhasil, aku mengobok-obok konten nya. Dan aku jatuh cinta. Dari sekian bendera berwarna-warni, kupilih satu dengan kombinasi warna biru-putih-merah. Rindu belajar dalam ruangan berwarna hijau muda yang di dinding serta kacanya memantul gelombang suara, menirukan kembali ucapan sang guru. "Très bien!", kata beliau sesudahnya. Bahasa adalah portal budaya buat ku, aku mencintai nya karena baris-baris huruf aneh itu indah di telinga, dan di atas kertas dalam jurnal ku.

Duolingo membantu ku mengingat kata-kata yang pernah fasih ku ucapkan. Membuka lagi catatan-catatan kecil yang sering ku baca di hadapan cermin. Aku suka bunyi nya. Saat itu baru sempat ku pelajari dasar bahasa baru; sapaan dan perkenalan. Jika bukan karena empat hari terakhir Sekolah Menengah Atas yang mengharuskan pemangkasan mata pelajaran pelarian ku, aku tentu masih kerap bercermin dengan buku di tangan. Menikmati pengucapan ku yang salah kaprah tapi terdengar lucu di telinga.


Level up: Ҫa va?


Poin pertama latihan di tingkat baru. Ku buka lagi catatan dalam jurnal ku. Lobus temporal pelan mengetuk lobus oksipital. Memori terangkat, menciptakan gambar visual dalam otak. Di ujung-ujung halaman kertas putih bergaris, menempel sidik jari yang membalik halaman pelan. Bukan pola garis jemari ku. Mata nya menelusuri kata demi kata yang asing, mencoba melafalkan nya satu persatu. Ia suka. Maka dikutiplah satu kata yang sudah lebih akrab di kepala nya, "Bonjour", dengan titik dua dan kurung tutup di belakang. Sesekali ia memulai hari dengan mencoba melafalkan kata halo itu dengan baik, sembari mengetikkannya ke atas layar yang tak lebih dari 4 inci. Niatnya belajar kerap membuat titik dua kurung tutup yang dibubuhkan nya berpindah ke wajah ku. Dengan sok tahu, kuajari beberapa kata yang lebih indah lagi dari sekadar halo. Eh, apa aku sudah memberi tahu nya cara mengucapkan "Merci"?


Dari telepon genggam ku terdengar suara memekakkan telinga. Muncul gambar yang lucu dan caption yang menyebalkan.

Batal naik tingkat. Persediaan hati ku habis. Biar aku belajar dulu, ya?
Au revoir.


Warmest Regards,
From a bowl of noodle soup.

No comments:

Post a Comment