Sunday 2 February 2014

02/02

Solo, 2 Februari 2014.

Walked in and expecting you'd be late, but you got here early and you stand and wave.
I walked to you...


Suara lembut Taylor Swift menyapu ruangan yang belum begitu penuh. Ku lirik arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangan kiri, pukul tujuh. Kamu menanyakan apa sudah waktunya aku pulang. Ku tahan tawa dan menggeleng pelan. Kita memang tidak pernah benar-benar saling kenal.

Tawa ku meledak ketika kamu bertanya kenapa baris gigi ku masih asimetris. Mencairkan sedikit kaku tahun-tahun tanpa temu. Aku tertawa karena tahu ada orang yang begitu bodoh untuk menyadari letak gigi ku, empunya saja tidak pernah sadar sebelumnya. Tapi aku suka, kawan lama yang aku rindu canda nya.

Jam-jam berikutnya kita habiskan dengan seloroh-seloroh sarkastis yang khas, yang tak pernah ku sadari begitu menyenangkan jika dilontarkan secara langsung pada mu, tanpa dinding virtual seperti biasanya. Malam itu, dibalik kekesalan ku karena kalah main game melawanmu, ku telan semua prasangka buruk ku tentang mu. Maaf ya, tapi beberapa teman memang bilang kamu berubah menyebalkan. Tapi di atas bangku yang terhalang meja kayu itu, aku melihat kamu yang masih sama. Masih dengan sikap lugu mu yang dungu.


And you throw your head back laughing like a little kid...


Untuk kedua kali nya, suara Taylor Swift merajai ruangan yang kini hampir penuh. Di koridor mulai tampak beberapa orang mengantre menunggu meja yang kosong. Tempat ini memang selalu ramai, apalagi Sabtu malam. Dan kita belum bosan bercerita, tentang kisah lucu masa lalu, hingga mimpi-mimpi masa depan jangka pendek kita yang mirip. Tapi, apa kamu tahu? Ada hal-hal yang tidak aku ceritakan malam itu? Di setiap sesap minuman yang aku pesan, ku telan kekaguman ku pada kepiawaian mu memainkan kata-kata. Kamu mudah besar kepala. Terlebih bila kamu tahu aku suka sajak-sajak yang kerap singgah di baris-baris kicau timeline twitter ku. Aku tidak tahu itu untuk siapa, aku hanya suka. Seperti sepotong terimakasih yang kamu kirim kan pada ku beberapa hari sebelumnya. Diksi nya begitu pas selaras, sampai aku bingung membalas. Meskipun sudah jarang aku melihatmu bersajak lagi. Mungkin dulu saat masih sering, kamu hanya menyamai mantan kekasihmu yang juga pandai berpuisi.

Koneksi kita kemudian terputus karena banyak hal, kala itu. Berbulan - bulan setelah temu kita yang terakhir, mulai ku dengar yang tidak-tidak lagi tentang kamu. Aku menyayangkan nya, karena aku tahu kamu lebih baik dari yang mereka katakan. Belum lagi,aku ingat luang waktu menyenangkan yang kamu sisihkan waktu itu, di tengah sibuk mu. Sebenarnya, selain sapaan mu yang terakhir kali,  aku sudah lupa, sampai tetiba kamu melintas di lini masa. Mengingatkan aku pada hari yang sama, dengan beda empat digit angka di belakang. Halo.



Warmest regards,
From a slice of chocolate brownies.

No comments:

Post a Comment