Monday 10 February 2014

Balasan Suratmu

Solo, 10 Februari 2014


Hampir setahun seragam sekolah ku tanggal kan. Selalu saja, aku punya alasan untuk kembali ke gedung warna-warni di pinggir kota itu. Gedung yang dibilang orang lebih mirip Taman Kanak-Kanak daripada Sekolah Menengah. Tentu aku diam-diam tidak terima, ku habiskan 6 tahun waktu belajar ku di sana. Seperti dua sisi mata uang, aku pernah benci dan mencintai nya.

Benci tak perlu ambil bagian dalam surat ini, karena siapa pun pasti pernah benci bangku sekolah. Maka ku ceritakan mengapa aku cinta.
Salah satu nya karena surat cinta. Surat cinta terindah yang pernah ku terima, ku dapatkan dari nya. Sesaat sebelum Ujian Nasional, ku dapatkan beberapa pucuk surat dalam amplop bertahta nama ku. Surat-surat sederhana berisi cinta seorang guru kepada murid. Sungguh baris-baris kata yang tak menjamin aku pasti lulus, namun menyuntikkan morphine untuk menahan kegelisahan ku akan hari-hari yang kata nya penentu itu.

Tak ada satu pun bait pujangga di dalam nya. Tak pula embel-embel gombal yang membuat mual. Sederhana saja, membaca potongan "Untuk anak ku"  di awal surat saja sudah membuat ku cinta. Surat itu juga bukan pengingat bahwa aku harus lulus dengan nilai yang baik, sebagai alibi pendongkrak akreditasi. Dengan sederhana dibungkus nya pesan itu dengan kalimat "Tinggalkan ego, takhlukkan soal-soal itu dengan jujur dan tenang."

Surat-surat itu sampai kini tersimpan di dalam kotak bekas sepatu di kolong ranjang ku. Doa-doa sederhana yang tak pernah bosan ku baca sendiri. Meskipun semua siswa pasti punya amplop-amplop putih itu, aku selalu merasa kalimat penyemangat itu ditunjukkan hanya buat ku. Jika aku bisa membalas, akan begini bunyi surat nya...

"Bapak Ibu, terimakasih sudah penuh peluh menuruti ide ku yang lebih mirip provokasi. Atau maaf mungkin, lebih tepat? Terimakasih sudah menerima aku yang kosong, kemudian di isi sampai penuh -otak, dan hati nya-. Terimakasih sudah menyempatkan diri melihatku dan kawan-kawan menyusun balok mimpi. Maaf, kadang mulut remaja kami pun kerap tak tahu diri. Lagi, terimakasih sekali sudah meracuni pikiran ku tentang indikator harga manusia yang lebih dari sekedar angka."

Segala keluh yang dilontarkan dengan canda, lebih indah di telinga ketimbang senyum yang kaku. Kalian semua punya yang pertama. Saat aku pulang nanti, tolong siapkan telinga untuk mendengar celoteh ku tentang dunia yang sesungguh nya.


Warmest regards,
From a girl who graduates with The Negotiator title.


No comments:

Post a Comment