Sunday 7 June 2015

Sweet Teeth

Finally this is the end of semester again! But no I  won't grumbling about how last semester wrecked me or guessing how next semester will be. But this post coming from an assignment, actually.
So last week my lecture gave us an assignment to make a photo story. Sure thing that suddenly came up to my mind is "It has to be food!" and looking like a magazine article. The topic I chose was culinary and to be more specific I chose sweet dishes that originally coming from Solo.

Then I remember that there's a dish that my grandpa usually brought every time he visits us; Jenang Lenjongan, the colorful jenang (jenang is Javanesse for porridge). At first, I thought lenjongan is the name of mixed sweet snack consist of klepon, gethuk, tiwul, and any sweeties made from cassava. But my mom said that lenjongan is the substitution word for mixed-variant of the dish.

I used an assignment pic so pardon that huge caption hahaha

Basically, jenang lenjongan is a mixed of various jenang in a plate. Consist of jenang mutiara (the red one made from pearl sago), jenang grendul (the caramel one made from rice flour), jenang sumsum (the white one made from rice flour), jenang ketan hitam (the black one made from glutinous rice). Those jenang then doused with coconut milk and palm sugar dressing. What I love the most from this dish is the sweet taste won't make you feel sick. And since it's all made from traditional ingredients, the price is not increasing at all since I was just a kid, only IDR 5000,-. I know the portion must be decreasing but they kept the taste just as good as always. This dish is kinda time machine for me to go back to 90's lol.

Yelled : I want more!

I didn't much jenang lenjongan stall in the city but this one is my family's favorite, placed near Pasar Nusukan (an alley before Bakso Kadipolo) Solo. But if it;s hard for you to find this place or you might want to try every jenang in this city for free, do come to Festival Jenang, an annual festival in Solo held every February to celebrate Solo's anniversary. You might found any kind of jenang there, not only the sweet one. But for you Solonian and #jajansolo tribe, this jenang place is very worth to try!



Will add more sweets soon.
xx,
Avi

Tuesday 10 February 2015

Untuk Yang Keduabelas, Desember

10 Februari 2015


Apa kabar, Desember, rasanya kamu begitu jauh. Padahal dua bulan ke belakang, dinginmu terasa dekat. Sampai Januari datang, merebut perhatian, menjauhkanmu.
Maaf ya Desember, saat kamu datang, kami selalu sibuk menyelesaikan dan merayakan ini itu. Kemudian bersantai tak mau melihat kalender pada halamanmu. Tapi terimakasih ya, Desember, sudah mau menyediakan tiga puluh satu hari yang penuh.
Desember, banyak orang tak suka padamu, karena kedatanganmu beriringan dengan awan hitam tempat air hujan bersembunyi. Dibaliknya, mereka tidak tahu, dingin mu datang untuk mendekatkan, dingin mu datang untuk menghangatkan.
Desember, namamu sering dituliskan pada bait-bait lagu cinta, cinta yang kandas, sayangnya. Seperti lagu pilihanku untuk karaoke; Back To December milik Taylor Swift.
Sampai kita jumpa setelah sepuluh bulan yang lain lewat, ada secarik cerita untuk mu, tentang Desember milik ku.

Desember membuka pintu akhir tahun dengan mesra, katanya, "Selamat datang." Minggu pertama baik saja, sampai pada akhir minggu nya, saat sup berisi pengalaman pertama tak sengaja terbumbui terlalu banyak merica; sedikit pedas. Tapi aku suka mengingatnya, karena layar berpendar dan cerita dibaliknya dalam suratku kemarin, beralamatkan disana. Minggu kedua, merica ku tumpah lebih banyak lagi, kian pedas saja. Aku mulai tak menyukaimu, Desember. Hingga minggu ke tiga dan ke empat datang, cinta naik kadarnya, terjun bebas membahagiakan. Tutup tahun ku terbungkus manis karena pita cerita dari mu, Desember.
Bisakah beritahu bulan lain untuk beri aku semangat yang sama?



Dari yang menunggumu segera datang, lagi.

Monday 9 February 2015

Layar Berpendar

9 Februari 2015


Hai, kawan yang lama tak kudengar suaranya. Surat ini adalah sebuah undangan; untuk memenuhi janji yang dibuat oleh mu. Yang sayangnya hanya teringat oleh ku.
Jika janji itu adalah rangkaian promosi sebuah film, inilah cuplikannya. Sedikit memberi tahu mu, undangan ini perihal apa.

Waktu itu hampir senja, semesta sedang ramah. Meskipun gerimis mulai jatuh, langit tak mau kalah dengan mengatur warna biru elektrik. Gumpal awan putih bersih bergandengan di atas kita, mencuri perhatian ku atas arum manis warna merah jambu yang sempat ku bilang "warnanya lucu", dan kau sambut dengan "mau beli?". Dalam perjalanan yang tak sampai 1,5 kilometer itu kamu berjalan buru-buru, aku seperti biasa, belum bisa menebak ritmenya. Seperti biasa pula, kecepatanmu berkurang, kemudian.
Adzan mulai bersahutan, saat kita sampai. Sayang, tujuan kita tak terkejar. Untungnya, sesaat setelahnya kita dapat tempat. Berhambur kita berduabelas ke dalam ruang yang luas, terpisah berebut masuk melawan ratusan kaki yang berjejal. Lalu disanalah kita, nyaris di baris terbelakang, sedikit beruntung.
Lalu kita bertukar prespektif atas ia, yang kemudian ku tahu argumen mu banyak benarnya. Senyum mu merayakan kemenangan atasnya, layar berpendar kita yang pertama.

Apa kabar, layar berpendar berikut yang terlanjur tertulis dalam baris agenda?



Dari Aku yang sempat terlelap bosan.

Sunday 8 February 2015

Lewat Pukul 18:00

8 Februari 2014


Surat hari ini terlambat ku tulis. Kantor Pos sudah tutup, sepeda milik Tukang Pos bersandar manja pada tembok kusam merah jambu, kudengar ia berbisik, "hari ini tak ada surat yang tak sampai."
Mungkin ia lega, hari ini tak perlu mengantar sebuah amplop cokelat muda kepunyaanku. Yang selalu diretur, karena Tukang Pos tak tak tahu kemana harus mengantar surat ku. Aku yakin menuliskan alamat dengan jelas, tapi aku tak yakin alamat itu benar ada.
Maka hari ini aku mencari cara agar surat-surat ku sampai, tapi belum ku temukan juga. Rasa yang ingin kututurkan dalam kata-kata masih terlalu banyak, sebetulnya. Namun kabut yang menutupi jalan menuju alamat suratku kian tebal saja nampaknya. Aku khawatir Tukang Pos dan sepedanya tak cinta lagi mengantarkan surat-surat, karena ku.

Bagaimana ya, sudah selarut ini, hujan belum juga reda. Tak mungkin suratnya kuantar sendiri. Kalau saja sepeda Tukang Pos belum melepas lelah pada tembok merah jambu, kuceritakan padanya isi surat-surat yang selalu kembali itu. Supaya ia tahu, harus diantar kemana surat itu. Akan kugambarkan rupa tujuan suratku dengan jelas padanya, dan ku akhiri dengan "Diam-diam saja, jangan sampai Tukang Pos tahu." Tapi kulihat si sepeda bukan hanya bersandar kelelahan, dalam lelapnya ia lepaskan juga rindu memeluk tembok merah jambu. Kulirik tembok merah jambu merona tersipu, terjaga memandang sepeda Tukang Pos. Hati-hati, tembok merah jambu, detak jantungmu yang naik frekuensi bisa membangunkannya nanti.


Aku berjalan pulang, menggenggam rapat amplop cokelat dalam kantung parka berwarna rusty yang memudar.



Dari Gadis yang Tak Bisa Menuliskan Alamat.

Saturday 7 February 2015

Kualamatkan Kemana

7 Februari 2015


Siang ini aroma petrichor menggelitik hidung. Hujan menderas. Ku harap langit berdamai saja di bawah 'arsy. Paling tidak selama lima ribu seratus, atau mungkin enam ribu enam ratus detik ke depan. Seperti biasa, dalam kepala muncul kekhawatiran-kekhawatiran yang tak perlu. Yang bahkan tak ku tahu. Semoga catatan ekspedisi milikmu baik saja hari ini.

Mungkin pada sepertiga malam, atau beriringan dengan waktu senja pergi, kaki-kaki mu akhirnya memeluk tanah yang ia rindu. Ataukah, kau rindukan juga?
Ku beri tahu satu rahasia, dalam kepalaku spekulasi berebut bersuara. Lobus frontal pada otak ku memutuskan untuk tak melanjutkan perintah pada mulut untuk mengeluarkan bunyi. Aku diam lagi.

Aku ingin tahu, apa angin kota ini akan membelai rambut mu yang tak pernah terlalu kering, mengelus lembut pipi mu hingga terangkat membentuk lekukan senyum? Atau akankah ia berhembus marah, merusak tatanan mu yang tak rusak meski peluh jatuh, gambaran jarak tempuh yang jauh.. Jika ia menyambutmu dengan marah, percayalah, aku tak ambil bagian.

Namun, akankah rindu mu berakhir disini. Ataukah ia bermula lagi dari sini? Yang manakah rumah sebenarnya?


P.S. Lantas, harus kualamatkan kemana surat penuh tanda tanya ini?



Dari 255 melalui Bentala.

Thursday 5 February 2015

Seratus Dua Puluh Tujuh (Atau Lebih)

5 Februari 2015

Halo.
Pada saat kamu membaca surat ini. aku harap kamu telah sampai selamat pada peraduan yang kamu panggil cungkup sederhana yang dikelilingi banyak cinta.
Aku ingin bicara banyak hal denganmu. Aku ingin tahu apa yang aku belum tahui tentangmu. Mari kita berbagi cerita, akan ku sampaikan rahasia-rahasia.
Selalu dalam pikirku, kamu tidak bisa menjahit kata-kata menjadi benang percakapan, secara langsung, denganku. Bagiku berbeda, ruang-ruang virtual dan ruang nyata yang kita punya. Sebenarnya, aku melihatmu dalam dua wajah. Maukah beri tahu aku, yang mana nyata yang benar?
Kita seperti tak kehabisan amunisi ego, aku menerapkan hukum Newton, kamu diam, maka aku pun.
Pernah katamu tak tahu bagaimana mulai bercakap dengan aku. Bagaimana bisa kamu mudah memulainya dengan orang-orang disekitar kita?
Aku benci menutup mata, pura-pura tak pakai hati. Aku lebih benci setiap pintu ku diketuk dengan nada ceria, di baliknya kamu menyambut dengan tawa. Ku sambut pula tawa itu. Dalam kotak virtual, adegan ini kita perankan berulang-ulang. Mengapa dalam ruang nyata tak demikian?
Mungkin, kepala batu kita yang tak mau tahu menahu soal aku soal kamu. Atau mungkin, hati kita saja yang sungkan menumpahkan tanya?



Kutulis surat ini pada hari kesembilan bulan pertama awal tahun ini, bukan dengan bahasa Indonesia. Namun tak pernah sempat aku kirimkan, pun pada sela rindu tanpa temu. Tanya ku masih ingin tumpah, tapi dari kejauhan aku lihat wajahmu mengisyaratkan "sudah". Pada hari kedua puluh tujuh (atau lebih).



Dari 1,009 melalui Jumantara.

Wednesday 4 February 2015

Halo, Mbak

4 Februari 2015

Pertemuan pertama. Bulan dua belas.
Hampir pukul sebelas malam. 6 jam pertama ku di kota ini. Malam itu seharusnya aku duduk mendengarkan mu berbicara tentang dunia yang kau geluti. Seharusnya. Namun beberapa menit sebelumnya kotak tawa ku terhempas. Seingatku tidak terjatuh saat aku naik ke atas kereta, yang membawa ku kesini. Tidak pula ku tinggalkan ia di pusat kota yang ku lewati sore sebelumnya. Oh, ya, mungkin aku kehilangan kotak itu di luar ruangan ini.
Teman di kanan kiri ku sibuk mengeluhkan kantuk. Sambil sesekali menjabat tangan baris depan dan belakang, berkenalan dengan kawan baru. Sungkan, ku ikuti mereka. Terimakasih Tuhan menciptakan sepasang pipi elastik, yang bisa memproduksi senyum sintetik. Karena pertama kali nya, Mbak, yang tak ku dengarkan isi pembicaraannya, timburu mengalahkan logika ku, pada dia.
Dia mungkin mendengarkanmu bercerita di depan forum ini, berjarak satu bangku dari tempat ku duduk. Raut nya tak beda dengan ku, sesekali ia menunduk, mendengus kesal, beralasan bosan dan lapar. Sudah lupa rupanya tiga jam sebelumnya kami duduk bersisian dengan agenda yang sama; makan malam.
Sampai kamu selesai bicara, lewat tengah malam, ku pikirkan bagaimana caranya menghindari pertanyaan darinya, dan segera tidur. Singkat cerita, rencana ku gagal, Mbak. Senyum sintetik ku di sulapnya jadi orisinil, beberapa jam kemudian. Aku ingat setelahnya, menjelang pagi, kamu dan beberapa kolega berjalan dari arah berlawanan. Saat itu, baru aku sadar, aku bahkan tidak mengingat siapa nama mu.


Pertemuan kedua. Bulan dua.
Dua bulan berlalu sejak pertemuan di kota itu. Giliranmu berkunjung kemari, untuk pertama kali. Aku menyesal tak mendengarkan mu bercerita malam yang lalu, malam pertama mu di kota ku ternyata berkesan buat ku; sekilas perjalananmu. Maaf ya, Mbak, tempo hari pertemuan kita tak terjadi di detik yang tepat. Sampai hari-hari berikutnya, aku menyukai cara mu bercerita, pun kontennya. Tahu tidak Mbak, dua hari sebelumnya, cerita yang disampaikan kolega mu pada ku, berputar di kepala ku sebelum tidur, kemudian hilang saat aku bangun esoknya. Dia yang (kurasa) tempo hari juga tak mendengar cerita mu, sayangnya tidak hadir. Dia menanyakan apa aku senang mendengar mu bercerita, jawabku "Ya, aku senang. Senang sekali.", sambil menambahkan dalam hati, "...aku menyesal tak mendengarkan nya bercerita waktu itu...". Karena ia masih belum tahu, sebab apa pipi elastik ku memerintah bibir untuk tersenyum sintetik. Karena aku masih ragu, apa kala itu ia bosan mendengarkanmu, atau bingung atas hilangnya kotak tawa ku.
Terimakasih ya, Mbak, atas kesan perkenalan pertama pada temu kedua kali ini. Nanti kala waktu menyediakan ruang temu, akan kuceritakan kisah mu padanya.


Dari Murid Temporari.

Tuesday 3 February 2015

Tamu-tamu Riuh yang Ditunggu

3 Februari 2015

Pagi, para pecinta.
Saat surat ini ku tulis, pasti kalian masih lelap. Aku tahu. Ini surat yang kalian pinta, dalam balut putih abu-abu, kala temu tak perlu terhalang rindu.

Kita semua payah menceritakan kisah-kisah cinta. Kamu yang terjebak di masa lalu, kamu yang terhalang restu, kamu yang terpisah jarak, kamu yang tak bisa bilang cinta. Juga aku, yang selalu mencinta diam-diam.
Ingat tidak, kala plot cerita cinta ku sampai pada sebuah seremoni pembukaan sebuah acara olahraga di pusat kota? Aku tak suka mengingatnya, tapi aku senang pernah melihat kalian berdiri menunggu aku di antara kerumunan, hanya untuk menepuk pundak ku dan berkata, "Tidak apa-apa".
Aku juga ingat, kala waktu ku tak banyak ku habiskan di rumah, dalam sempit nya ruang temu, kalian tak lupa mengingatkan, "Pulanglah. Keluargamu merindu.".
Pada sua yang kita curi beberapa bulan sekali, kalian selalu bertanya, "Bagaimana, sudah adakah penulis kisah cinta pada lembar baru mu?" dengan nada mengejek. Ku kembalikan pertanyaan itu, lalu mengalir cerita-cerita cinta milik kalian.

Tahuilah kalian pula yang aku takutkan untuk berbagi cerita cinta, kini.
Karena cinta di dalam lingkaran kita juga kendur tali pengikatnya. Takut ku cinta yang kita bangun, luruh pada jarak. Luruh pada waktu. Luruh pada cinta-cinta lain.

Bisa tidak ya, kita satukan cinta tanpa ada temu-temu non-virtual yang menuntut tunggu?

Untuk Alijza, Bima, I'am, dan Sami.
Yang sibuk mencinta, meyakinkan cinta, mempertahankan cinta dan mencari cinta.
Tamu-tamu riuh di rumahku.


Dari Avi.

Monday 2 February 2015

Seratus Dua Puluh Empat (Atau Lebih)

2 Februari 2015

Bacalah dari sisi aku.

Hari pertama
Aku tidak yakin inilah hari pertama. Namun dalam surat ini biarlah ku sebut demikian.
Kita datang terlalu pagi. Kabut sedikit masih rendah. Jaket tosca ku masih terlalu nyaman untuk dilepaskan. Berjarak sekitar satu meter, kamu bercerita tentang masa lalu. Tanpa menatapku, mata mu menerawang haru, jauh. Hanya ada kita, dan canggung di antaranya. Aku diam mendengarkan, sesekali berkomentar seperlunya. Aku takut mengenalmu. Aku ingat, menit-menit berikutnya berdatangan kawan lain. Seperti punya tombol otomatis, kamu mengganti topik canda-canda yang khas. Cerita-cerita klise.


Hari ke sekian sampai enam puluh sembilan (atau lebih)
Aku mulai berpikir kenapa membicarakan hal-hal tak penting denganmu menjadi penting. Dan aku menikmatinya. Seperti terlalu lama menegak air putih yang hambar, kemudian disuguhi aneka jus buah. Setiap hari aku tak sabar menebak akan dapat rasa apa; manis kah, asam kah, sampai akhirnya aku sedikit menyecap rasa baru dari mu; pahit.
Aku simpan sendiri. Kamu pun. Tahukah kamu, setelahnya baru kuberanikan diri bersandar pada pundak seorang sahabat. Bercerita.
Aku penasaran apa kamu tahu? Aku ingin tahu, pada siapa ceritamu kau sandarkan?
Tapi biar kamu tahu, di antara hari ke sekian itu, ketakutan ku meluruh. Aku tahu mengapa percakapan kita menjadi penting, paling tidak buat ku.


Hari ke sekian sekian sampai seratus dua puluh empat (atau lebih)
Mungkin kita terlalu baik membuka pintu bagi ego untuk menyela dialogmu dan aku. Mungkin sebetulnya tidak perlu. Mungkin banyak rahasia yang kita sangka kita tahu. Mungkin kita tak perlu menebaknya. Mungkin angka seratus dua puluh empat itu semu. Mungkin kita tidak perlu mengingatnya. Atau mungkin memang perlu.
Ku tarik kembali benang percakapan lalu.
Aku semakin ingin mengenalmu. Ku putuskan tinggal dulu.



Dari Aku

Sunday 1 February 2015

Surat Untuk Cinta

1 Februari 2015

Pagi, Cinta.

Akhir-akhir ini, kita sering berdiri bersisian. Tanpa tegur sapa. Mengapa begitu, Cinta?
Kita saling kenal, kan? Atau mungkin, hanya saling tahu?
Cinta, saat dekat kamu kemarin, aku melihat wajah mu tak memerah bahagia. Ada apa?
Cinta. Maaf aku banyak tanya. Maaf aku ingin tahu.
Ku rasa sedihmu karena ada ku, ya? Karena bila aku menjauh ke belakang, aku melihatmu memerah lagi.
Setiap langkahku mundur, baris gigi mu terlihat di sela gelak tawa.
Kala aku menjauh dari pagar pertahanan hati, kegembiraanmu tak habis-habisnya.
Tuduhku, tawa mu tawa jumawa. Tapi melihatku saja tidak, bagaimana menertawaiku menjadi penting bagi mu?
Apa mungkin, itulah bahagia apa adanya?
Jika ya, ajari aku sepertimu, Cinta.
Pasai sudah aku melihat cantik mu dari kejauhan. Sedih berjalan ke depan diiringi redupnya merah bahagiamu.
...
Saat empunya hati menghendaki kita bersisian lagi, bisa tidak ya, ku utarakan surat ini padamu?


Dari Benci.

Saturday 17 January 2015

Strolling Around : Semarang

Hello again, people!
Holiday is finally here yeay. I have been spending free time since few last days of December but I still got to work on this and that so it's not literally freed me. I was spending time with my highschool friends last week and some of them got to back to their (college) town for now. And so I decided to go for a short trip few days ago to Semarang. I rarely stop by this city so I think it would be fun to wander around it. My friend Asti have been knowing Semarang since school so yes she was my tour guide for 2 days.

My morning trip to Semarang (departed from Solo at 05.30 AM) was actually my first time spending 2 hours and a half on a train alone. All I'm doing was fell asleep in quarter of the way, looking outside of the window and getting over excited seeing all corn field along the way.
Me and Asti actually have planned to visit some place in a day but suddenly it was raining heavily so we've got to cut off some places out of the list. Here's some place I've visited on my first day in Semarang;

1) Tanjung Emas Port
First place  we've visited was this port. We're both were really craving for taking pictures around colorful containers but unfortunately not everyone can go inside the container ports. If you really wants to go inside, the guards and people from TPKS (Terminal Peti Kemas Semarang) office told us that we have to bring official letter that explain what we're going to do inside the port under the license of our agency / institute. And that wouldn't be a one day process because we have to wait for TPKS office confirmation first. Since we already got there, we walk around the container ports area and took some pictures.


Friday 9 January 2015

Twenty Fifteen : To be Bold

Hi people.
Maybe it's kinda late but I'm wishing you guys a very happy new year.
I actually want to post something about 2014 recap by the end of the year but so many things had happened and I just could sit down and write, today.
And I'm changing my topic. It's a bit cliché to talk about resolution I know, but I admit it's important for me to have targets and goals. I don't know if this would lead you to that topic but I was thinking about it on my way home yesterday night.

It was around 10.40 PM, I was going through a dark streets. That night was my first time passing that route all by myself driving a motorcycle. I've been keeping myself off of that route cause I'm scared of darkness and everything that might emerged from it. Yea it's silly that I have a paranoid issue with ghost lol but I'm more scared of people that might have bad intentions on streets, go back to the fact that I am a girl alone on the dark streets in a late night. Did I told you on the either side of the road is all paddy field?