Monday, 9 February 2015

Layar Berpendar

9 Februari 2015


Hai, kawan yang lama tak kudengar suaranya. Surat ini adalah sebuah undangan; untuk memenuhi janji yang dibuat oleh mu. Yang sayangnya hanya teringat oleh ku.
Jika janji itu adalah rangkaian promosi sebuah film, inilah cuplikannya. Sedikit memberi tahu mu, undangan ini perihal apa.

Waktu itu hampir senja, semesta sedang ramah. Meskipun gerimis mulai jatuh, langit tak mau kalah dengan mengatur warna biru elektrik. Gumpal awan putih bersih bergandengan di atas kita, mencuri perhatian ku atas arum manis warna merah jambu yang sempat ku bilang "warnanya lucu", dan kau sambut dengan "mau beli?". Dalam perjalanan yang tak sampai 1,5 kilometer itu kamu berjalan buru-buru, aku seperti biasa, belum bisa menebak ritmenya. Seperti biasa pula, kecepatanmu berkurang, kemudian.
Adzan mulai bersahutan, saat kita sampai. Sayang, tujuan kita tak terkejar. Untungnya, sesaat setelahnya kita dapat tempat. Berhambur kita berduabelas ke dalam ruang yang luas, terpisah berebut masuk melawan ratusan kaki yang berjejal. Lalu disanalah kita, nyaris di baris terbelakang, sedikit beruntung.
Lalu kita bertukar prespektif atas ia, yang kemudian ku tahu argumen mu banyak benarnya. Senyum mu merayakan kemenangan atasnya, layar berpendar kita yang pertama.

Apa kabar, layar berpendar berikut yang terlanjur tertulis dalam baris agenda?



Dari Aku yang sempat terlelap bosan.

Sunday, 8 February 2015

Lewat Pukul 18:00

8 Februari 2014


Surat hari ini terlambat ku tulis. Kantor Pos sudah tutup, sepeda milik Tukang Pos bersandar manja pada tembok kusam merah jambu, kudengar ia berbisik, "hari ini tak ada surat yang tak sampai."
Mungkin ia lega, hari ini tak perlu mengantar sebuah amplop cokelat muda kepunyaanku. Yang selalu diretur, karena Tukang Pos tak tak tahu kemana harus mengantar surat ku. Aku yakin menuliskan alamat dengan jelas, tapi aku tak yakin alamat itu benar ada.
Maka hari ini aku mencari cara agar surat-surat ku sampai, tapi belum ku temukan juga. Rasa yang ingin kututurkan dalam kata-kata masih terlalu banyak, sebetulnya. Namun kabut yang menutupi jalan menuju alamat suratku kian tebal saja nampaknya. Aku khawatir Tukang Pos dan sepedanya tak cinta lagi mengantarkan surat-surat, karena ku.

Bagaimana ya, sudah selarut ini, hujan belum juga reda. Tak mungkin suratnya kuantar sendiri. Kalau saja sepeda Tukang Pos belum melepas lelah pada tembok merah jambu, kuceritakan padanya isi surat-surat yang selalu kembali itu. Supaya ia tahu, harus diantar kemana surat itu. Akan kugambarkan rupa tujuan suratku dengan jelas padanya, dan ku akhiri dengan "Diam-diam saja, jangan sampai Tukang Pos tahu." Tapi kulihat si sepeda bukan hanya bersandar kelelahan, dalam lelapnya ia lepaskan juga rindu memeluk tembok merah jambu. Kulirik tembok merah jambu merona tersipu, terjaga memandang sepeda Tukang Pos. Hati-hati, tembok merah jambu, detak jantungmu yang naik frekuensi bisa membangunkannya nanti.


Aku berjalan pulang, menggenggam rapat amplop cokelat dalam kantung parka berwarna rusty yang memudar.



Dari Gadis yang Tak Bisa Menuliskan Alamat.

Saturday, 7 February 2015

Kualamatkan Kemana

7 Februari 2015


Siang ini aroma petrichor menggelitik hidung. Hujan menderas. Ku harap langit berdamai saja di bawah 'arsy. Paling tidak selama lima ribu seratus, atau mungkin enam ribu enam ratus detik ke depan. Seperti biasa, dalam kepala muncul kekhawatiran-kekhawatiran yang tak perlu. Yang bahkan tak ku tahu. Semoga catatan ekspedisi milikmu baik saja hari ini.

Mungkin pada sepertiga malam, atau beriringan dengan waktu senja pergi, kaki-kaki mu akhirnya memeluk tanah yang ia rindu. Ataukah, kau rindukan juga?
Ku beri tahu satu rahasia, dalam kepalaku spekulasi berebut bersuara. Lobus frontal pada otak ku memutuskan untuk tak melanjutkan perintah pada mulut untuk mengeluarkan bunyi. Aku diam lagi.

Aku ingin tahu, apa angin kota ini akan membelai rambut mu yang tak pernah terlalu kering, mengelus lembut pipi mu hingga terangkat membentuk lekukan senyum? Atau akankah ia berhembus marah, merusak tatanan mu yang tak rusak meski peluh jatuh, gambaran jarak tempuh yang jauh.. Jika ia menyambutmu dengan marah, percayalah, aku tak ambil bagian.

Namun, akankah rindu mu berakhir disini. Ataukah ia bermula lagi dari sini? Yang manakah rumah sebenarnya?


P.S. Lantas, harus kualamatkan kemana surat penuh tanda tanya ini?



Dari 255 melalui Bentala.

Thursday, 5 February 2015

Seratus Dua Puluh Tujuh (Atau Lebih)

5 Februari 2015

Halo.
Pada saat kamu membaca surat ini. aku harap kamu telah sampai selamat pada peraduan yang kamu panggil cungkup sederhana yang dikelilingi banyak cinta.
Aku ingin bicara banyak hal denganmu. Aku ingin tahu apa yang aku belum tahui tentangmu. Mari kita berbagi cerita, akan ku sampaikan rahasia-rahasia.
Selalu dalam pikirku, kamu tidak bisa menjahit kata-kata menjadi benang percakapan, secara langsung, denganku. Bagiku berbeda, ruang-ruang virtual dan ruang nyata yang kita punya. Sebenarnya, aku melihatmu dalam dua wajah. Maukah beri tahu aku, yang mana nyata yang benar?
Kita seperti tak kehabisan amunisi ego, aku menerapkan hukum Newton, kamu diam, maka aku pun.
Pernah katamu tak tahu bagaimana mulai bercakap dengan aku. Bagaimana bisa kamu mudah memulainya dengan orang-orang disekitar kita?
Aku benci menutup mata, pura-pura tak pakai hati. Aku lebih benci setiap pintu ku diketuk dengan nada ceria, di baliknya kamu menyambut dengan tawa. Ku sambut pula tawa itu. Dalam kotak virtual, adegan ini kita perankan berulang-ulang. Mengapa dalam ruang nyata tak demikian?
Mungkin, kepala batu kita yang tak mau tahu menahu soal aku soal kamu. Atau mungkin, hati kita saja yang sungkan menumpahkan tanya?



Kutulis surat ini pada hari kesembilan bulan pertama awal tahun ini, bukan dengan bahasa Indonesia. Namun tak pernah sempat aku kirimkan, pun pada sela rindu tanpa temu. Tanya ku masih ingin tumpah, tapi dari kejauhan aku lihat wajahmu mengisyaratkan "sudah". Pada hari kedua puluh tujuh (atau lebih).



Dari 1,009 melalui Jumantara.

Wednesday, 4 February 2015

Halo, Mbak

4 Februari 2015

Pertemuan pertama. Bulan dua belas.
Hampir pukul sebelas malam. 6 jam pertama ku di kota ini. Malam itu seharusnya aku duduk mendengarkan mu berbicara tentang dunia yang kau geluti. Seharusnya. Namun beberapa menit sebelumnya kotak tawa ku terhempas. Seingatku tidak terjatuh saat aku naik ke atas kereta, yang membawa ku kesini. Tidak pula ku tinggalkan ia di pusat kota yang ku lewati sore sebelumnya. Oh, ya, mungkin aku kehilangan kotak itu di luar ruangan ini.
Teman di kanan kiri ku sibuk mengeluhkan kantuk. Sambil sesekali menjabat tangan baris depan dan belakang, berkenalan dengan kawan baru. Sungkan, ku ikuti mereka. Terimakasih Tuhan menciptakan sepasang pipi elastik, yang bisa memproduksi senyum sintetik. Karena pertama kali nya, Mbak, yang tak ku dengarkan isi pembicaraannya, timburu mengalahkan logika ku, pada dia.
Dia mungkin mendengarkanmu bercerita di depan forum ini, berjarak satu bangku dari tempat ku duduk. Raut nya tak beda dengan ku, sesekali ia menunduk, mendengus kesal, beralasan bosan dan lapar. Sudah lupa rupanya tiga jam sebelumnya kami duduk bersisian dengan agenda yang sama; makan malam.
Sampai kamu selesai bicara, lewat tengah malam, ku pikirkan bagaimana caranya menghindari pertanyaan darinya, dan segera tidur. Singkat cerita, rencana ku gagal, Mbak. Senyum sintetik ku di sulapnya jadi orisinil, beberapa jam kemudian. Aku ingat setelahnya, menjelang pagi, kamu dan beberapa kolega berjalan dari arah berlawanan. Saat itu, baru aku sadar, aku bahkan tidak mengingat siapa nama mu.


Pertemuan kedua. Bulan dua.
Dua bulan berlalu sejak pertemuan di kota itu. Giliranmu berkunjung kemari, untuk pertama kali. Aku menyesal tak mendengarkan mu bercerita malam yang lalu, malam pertama mu di kota ku ternyata berkesan buat ku; sekilas perjalananmu. Maaf ya, Mbak, tempo hari pertemuan kita tak terjadi di detik yang tepat. Sampai hari-hari berikutnya, aku menyukai cara mu bercerita, pun kontennya. Tahu tidak Mbak, dua hari sebelumnya, cerita yang disampaikan kolega mu pada ku, berputar di kepala ku sebelum tidur, kemudian hilang saat aku bangun esoknya. Dia yang (kurasa) tempo hari juga tak mendengar cerita mu, sayangnya tidak hadir. Dia menanyakan apa aku senang mendengar mu bercerita, jawabku "Ya, aku senang. Senang sekali.", sambil menambahkan dalam hati, "...aku menyesal tak mendengarkan nya bercerita waktu itu...". Karena ia masih belum tahu, sebab apa pipi elastik ku memerintah bibir untuk tersenyum sintetik. Karena aku masih ragu, apa kala itu ia bosan mendengarkanmu, atau bingung atas hilangnya kotak tawa ku.
Terimakasih ya, Mbak, atas kesan perkenalan pertama pada temu kedua kali ini. Nanti kala waktu menyediakan ruang temu, akan kuceritakan kisah mu padanya.


Dari Murid Temporari.