5 Februari 2015
Halo.
Pada saat kamu membaca surat ini. aku harap kamu telah sampai selamat pada peraduan yang kamu panggil cungkup sederhana yang dikelilingi banyak cinta.
Aku ingin bicara banyak hal denganmu. Aku ingin tahu apa yang aku belum tahui tentangmu. Mari kita berbagi cerita, akan ku sampaikan rahasia-rahasia.
Selalu dalam pikirku, kamu tidak bisa menjahit kata-kata menjadi benang percakapan, secara langsung, denganku. Bagiku berbeda, ruang-ruang virtual dan ruang nyata yang kita punya. Sebenarnya, aku melihatmu dalam dua wajah. Maukah beri tahu aku, yang mana nyata yang benar?
Kita seperti tak kehabisan amunisi ego, aku menerapkan hukum Newton, kamu diam, maka aku pun.
Pernah katamu tak tahu bagaimana mulai bercakap dengan aku. Bagaimana bisa kamu mudah memulainya dengan orang-orang disekitar kita?
Aku benci menutup mata, pura-pura tak pakai hati. Aku lebih benci setiap pintu ku diketuk dengan nada ceria, di baliknya kamu menyambut dengan tawa. Ku sambut pula tawa itu. Dalam kotak virtual, adegan ini kita perankan berulang-ulang. Mengapa dalam ruang nyata tak demikian?
Mungkin, kepala batu kita yang tak mau tahu menahu soal aku soal kamu. Atau mungkin, hati kita saja yang sungkan menumpahkan tanya?
Kutulis surat ini pada hari kesembilan bulan pertama awal tahun ini, bukan dengan bahasa Indonesia. Namun tak pernah sempat aku kirimkan, pun pada sela rindu tanpa temu. Tanya ku masih ingin tumpah, tapi dari kejauhan aku lihat wajahmu mengisyaratkan "sudah". Pada hari kedua puluh tujuh (atau lebih).
Dari 1,009 melalui Jumantara.
No comments:
Post a Comment