Surat hari ini terlambat ku tulis. Kantor Pos sudah tutup, sepeda milik Tukang Pos bersandar manja pada tembok kusam merah jambu, kudengar ia berbisik, "hari ini tak ada surat yang tak sampai."
Mungkin ia lega, hari ini tak perlu mengantar sebuah amplop cokelat muda kepunyaanku. Yang selalu diretur, karena Tukang Pos tak tak tahu kemana harus mengantar surat ku. Aku yakin menuliskan alamat dengan jelas, tapi aku tak yakin alamat itu benar ada.
Maka hari ini aku mencari cara agar surat-surat ku sampai, tapi belum ku temukan juga. Rasa yang ingin kututurkan dalam kata-kata masih terlalu banyak, sebetulnya. Namun kabut yang menutupi jalan menuju alamat suratku kian tebal saja nampaknya. Aku khawatir Tukang Pos dan sepedanya tak cinta lagi mengantarkan surat-surat, karena ku.
Bagaimana ya, sudah selarut ini, hujan belum juga reda. Tak mungkin suratnya kuantar sendiri. Kalau saja sepeda Tukang Pos belum melepas lelah pada tembok merah jambu, kuceritakan padanya isi surat-surat yang selalu kembali itu. Supaya ia tahu, harus diantar kemana surat itu. Akan kugambarkan rupa tujuan suratku dengan jelas padanya, dan ku akhiri dengan "Diam-diam saja, jangan sampai Tukang Pos tahu." Tapi kulihat si sepeda bukan hanya bersandar kelelahan, dalam lelapnya ia lepaskan juga rindu memeluk tembok merah jambu. Kulirik tembok merah jambu merona tersipu, terjaga memandang sepeda Tukang Pos. Hati-hati, tembok merah jambu, detak jantungmu yang naik frekuensi bisa membangunkannya nanti.
Aku berjalan pulang, menggenggam rapat amplop cokelat dalam kantung parka berwarna rusty yang memudar.
Dari Gadis yang Tak Bisa Menuliskan Alamat.
No comments:
Post a Comment