Wednesday, 4 February 2015

Halo, Mbak

4 Februari 2015

Pertemuan pertama. Bulan dua belas.
Hampir pukul sebelas malam. 6 jam pertama ku di kota ini. Malam itu seharusnya aku duduk mendengarkan mu berbicara tentang dunia yang kau geluti. Seharusnya. Namun beberapa menit sebelumnya kotak tawa ku terhempas. Seingatku tidak terjatuh saat aku naik ke atas kereta, yang membawa ku kesini. Tidak pula ku tinggalkan ia di pusat kota yang ku lewati sore sebelumnya. Oh, ya, mungkin aku kehilangan kotak itu di luar ruangan ini.
Teman di kanan kiri ku sibuk mengeluhkan kantuk. Sambil sesekali menjabat tangan baris depan dan belakang, berkenalan dengan kawan baru. Sungkan, ku ikuti mereka. Terimakasih Tuhan menciptakan sepasang pipi elastik, yang bisa memproduksi senyum sintetik. Karena pertama kali nya, Mbak, yang tak ku dengarkan isi pembicaraannya, timburu mengalahkan logika ku, pada dia.
Dia mungkin mendengarkanmu bercerita di depan forum ini, berjarak satu bangku dari tempat ku duduk. Raut nya tak beda dengan ku, sesekali ia menunduk, mendengus kesal, beralasan bosan dan lapar. Sudah lupa rupanya tiga jam sebelumnya kami duduk bersisian dengan agenda yang sama; makan malam.
Sampai kamu selesai bicara, lewat tengah malam, ku pikirkan bagaimana caranya menghindari pertanyaan darinya, dan segera tidur. Singkat cerita, rencana ku gagal, Mbak. Senyum sintetik ku di sulapnya jadi orisinil, beberapa jam kemudian. Aku ingat setelahnya, menjelang pagi, kamu dan beberapa kolega berjalan dari arah berlawanan. Saat itu, baru aku sadar, aku bahkan tidak mengingat siapa nama mu.


Pertemuan kedua. Bulan dua.
Dua bulan berlalu sejak pertemuan di kota itu. Giliranmu berkunjung kemari, untuk pertama kali. Aku menyesal tak mendengarkan mu bercerita malam yang lalu, malam pertama mu di kota ku ternyata berkesan buat ku; sekilas perjalananmu. Maaf ya, Mbak, tempo hari pertemuan kita tak terjadi di detik yang tepat. Sampai hari-hari berikutnya, aku menyukai cara mu bercerita, pun kontennya. Tahu tidak Mbak, dua hari sebelumnya, cerita yang disampaikan kolega mu pada ku, berputar di kepala ku sebelum tidur, kemudian hilang saat aku bangun esoknya. Dia yang (kurasa) tempo hari juga tak mendengar cerita mu, sayangnya tidak hadir. Dia menanyakan apa aku senang mendengar mu bercerita, jawabku "Ya, aku senang. Senang sekali.", sambil menambahkan dalam hati, "...aku menyesal tak mendengarkan nya bercerita waktu itu...". Karena ia masih belum tahu, sebab apa pipi elastik ku memerintah bibir untuk tersenyum sintetik. Karena aku masih ragu, apa kala itu ia bosan mendengarkanmu, atau bingung atas hilangnya kotak tawa ku.
Terimakasih ya, Mbak, atas kesan perkenalan pertama pada temu kedua kali ini. Nanti kala waktu menyediakan ruang temu, akan kuceritakan kisah mu padanya.


Dari Murid Temporari.

No comments:

Post a Comment