Monday, 2 February 2015

Seratus Dua Puluh Empat (Atau Lebih)

2 Februari 2015

Bacalah dari sisi aku.

Hari pertama
Aku tidak yakin inilah hari pertama. Namun dalam surat ini biarlah ku sebut demikian.
Kita datang terlalu pagi. Kabut sedikit masih rendah. Jaket tosca ku masih terlalu nyaman untuk dilepaskan. Berjarak sekitar satu meter, kamu bercerita tentang masa lalu. Tanpa menatapku, mata mu menerawang haru, jauh. Hanya ada kita, dan canggung di antaranya. Aku diam mendengarkan, sesekali berkomentar seperlunya. Aku takut mengenalmu. Aku ingat, menit-menit berikutnya berdatangan kawan lain. Seperti punya tombol otomatis, kamu mengganti topik canda-canda yang khas. Cerita-cerita klise.


Hari ke sekian sampai enam puluh sembilan (atau lebih)
Aku mulai berpikir kenapa membicarakan hal-hal tak penting denganmu menjadi penting. Dan aku menikmatinya. Seperti terlalu lama menegak air putih yang hambar, kemudian disuguhi aneka jus buah. Setiap hari aku tak sabar menebak akan dapat rasa apa; manis kah, asam kah, sampai akhirnya aku sedikit menyecap rasa baru dari mu; pahit.
Aku simpan sendiri. Kamu pun. Tahukah kamu, setelahnya baru kuberanikan diri bersandar pada pundak seorang sahabat. Bercerita.
Aku penasaran apa kamu tahu? Aku ingin tahu, pada siapa ceritamu kau sandarkan?
Tapi biar kamu tahu, di antara hari ke sekian itu, ketakutan ku meluruh. Aku tahu mengapa percakapan kita menjadi penting, paling tidak buat ku.


Hari ke sekian sekian sampai seratus dua puluh empat (atau lebih)
Mungkin kita terlalu baik membuka pintu bagi ego untuk menyela dialogmu dan aku. Mungkin sebetulnya tidak perlu. Mungkin banyak rahasia yang kita sangka kita tahu. Mungkin kita tak perlu menebaknya. Mungkin angka seratus dua puluh empat itu semu. Mungkin kita tidak perlu mengingatnya. Atau mungkin memang perlu.
Ku tarik kembali benang percakapan lalu.
Aku semakin ingin mengenalmu. Ku putuskan tinggal dulu.



Dari Aku

1 comment: